• Profil
    • Bupati dan Wakil Bupati
    • Visi dan Misi
    • Program
    • Kondisi Geografi
    • Wajo Dalam Angka
  • Tentang
    • Tugas dan Fungsi
    • Perangkat Daerah
    • Kelurahan
    • Pemerintah Desa
    • Sejarah Wajo
    • Lambang Daerah
    • Hari Jadi Wajo
    • Bupati dari Masa ke Masa
  • Publikasi
    • Dokumen Perencanaan
    • Dokumen IPKD
    • Ringkasan LPPD
    • Produk Hukum
    • Analisis Standar Belanja
    • Standar Satuan Harga
  • Media
    • Berita
    • Galeri Video
    • Galeri Foto
  • Layanan Publik
    • Informasi Publik
    • Layanan Pengaduan
    • Layanan Perizinan
    • Layanan Email Dinas
    • Cek PBB
    • Cek BPHTB
    • SPBE
  • Bahasa
  • Pencarian

Sejarah Wajo

25,649 Views

    Sejarah Wajo

    Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat yang sepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo. Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.

    Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo.

    Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas. Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak rakyatnya.

    Adapun konsep pemerintahan adalah :

    1. Kerajaan

    2. Republik

    3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu.

    Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :

    1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG

    2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA

    3. LAMUNGKACE TOADDAMANG

    4. LATENRILAI TOSENGNGENG

    5. LASANGKURU PATAU

    6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA

    7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)

    8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG

    Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo. Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :

    1. Versi Puang Rilampulungeng

    2. Versi Puang Ritimpengen

    3. Versi Cinnongtabi

    4. Versi Boli

    5. Versi Kerajaan Cina

    6. Versi masa Kebataraan

    7. Versi masa ke Arung Matoa-an

    Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.

    Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atas perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.

    Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.

    Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :

    1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.

    2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.

    3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.

    4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.

    Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.

    Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.

     

    Perkembangan Kerajaan Wajo

    Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.

    Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.

    Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka. Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah. Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).

    Kontroversi

    Arung Matowa Wajo masih kontroversi, yaitu:

    Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke Republik Indonesia.

    Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.

    Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.

    Demikianlah sejarah Wajo hingga melebur ke Republik Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.

    Kerajaan Wajo

    Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi

    Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [Wajo]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

    Sejarah Awal

    Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

    Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.

    Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.

    La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan "Wajo". La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

    Wajo sebagai Kerajaan

    Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

    Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani Perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

    Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.

    Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

    [[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

    Struktur Kerajaan Wajo


    Masa Batara Wajo

    Ø  Batara Wajo = Penguasa tertinggi (1 orang)

    Ø  Paddanreng = Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)

    Ø  Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (12) orang

    Masa Arung Matoa

    Ø  Arung Matoa = Penguasa tertinggi (1 orang)

    Ø  Paddanreng = Penguasa wilayah (3 orang)

    Ø  Pabbate Lompo = Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)

    Ø  Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (30 orang)

    Ø  Suro = Utusan (3 orang)

    Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.

    Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE

    Ø  Arung Bettempola = biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Pada masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang

    Ø  Punggawa = Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE

    Ø  Petta MancijiE = Staf keprotokuleran istana

    Penguasa Kerajaan Wajo

    No Penguasa Mulai
    Menjabat
    Akhir
    Jabatan
    Batara Wajo
    1 La Tenribali    
    2 La Mataesso    
    3 La Pateddungi to Samallangi    
    Arung Matowa
    1 La Palewo to Palippu 1474 1481
    2 La Obbi Settiriware 1481 1486
    3 La Tenriumpu to Langi 1486 1491
    4 La Palewo to Palippu 1491 1521
    5 La Tenri Pakado To Nampe 1524 1535
    6 La Temmassonge 1535 1538
    7 La Warani To Temmagiang 1538 1547
    8 La Malagenni 1547 1547
    9 La Mappapuli To Appamadeng 1547 1564
    10 La Pakoko To Pa’bele’ 1564 1567
    11 La Mungkace To Uddamang 1567 1607
    12 La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman 1607 1610
    13 La Mappepulu To Appamole 1610 1616
    14 La Samalewa To Appakiung 1616 1621
    15 La Pakallongi To Alinrungi 1621 1626
    16 To Mappassaungnge 1627 1628
    17 La Pakallongi To Alinrungi 1628 1636
    18 La Tenrilai To Uddamang 1636 1639
    19 La Isigajang To Bunne 1639 1643
    20 La Makkaraka To Patemmui 1643 1648
    21 La Temmasonge 1648 1651
    22 La Paramma To Rewo 1651 1658
    23 La Tenri Lai To Sengngeng 1658 1670
    24 La Palili To Malu’ 1670 1679
    25 La Pariusi Daeng Manyampa 1679 1699
    26 La Tenri Sessu To Timo E 1699 1702
    27 La Mattone’ 1702 1703
    28 La Galigo To Sunnia 1703 1712
    29 La Tenri Werung Arung Peneki 1712 1715
    30 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang 1715 1736
    31 La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang 1736 1754
    32 La Mad’danaca 1754 1755
    33 La Passaung 1758 1761
    34 La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa 1761 1767
    35 La Malliungeng 1767 1770
    36 La Mallalengeng 1795 1817
    37 La Manang 1821 1825
    38 La Pa’dengngeng 1839 1845
    39 La Pawellangi Pajumpero'e 1854 1859
    40 La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo 1859 1885
    41 La Koro Arung Padali 1885 1891
    42 La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng 1892 1897
    43 Ishak Manggabarani Krg Mangeppe 1900 1916
    44 Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki 1926 1933
    45 Andi Mangkona Datu Mario 1933 1949
    46 Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo 1949 1949
    47 Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo 1949 1950
    48 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1950 1952
    49 Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi 1952 1954
    50 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1954 1957

    Dirangkum dari berbagai sumber.



Jalan Rusa No. 17, Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan 90911

info@wajokab.go.id

2025 Pemerintah Kabupaten Wajo